KEPRITANJUNG PINANG
Opini: Pilkada 2020 Bebas Korupsi
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau biasa disebut dengan Pilkada atau Pemilukada adalah Pemilihan Umum untuk memilih pasangan calon Kepala Daerah yang diusulkan oleh Partai Politik (Parpol) atau gabungan parpol dan perseorangan.Mengenai Transparansi Anggaran, seseorang yang tengah bermasalah dengan hukum atau bahkan berstatus tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi seharusnya tidak boleh mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah karena korupsi adalah kejahatan yang luar biasa. Menurut saya khusus tersangka kasus korupsi dan mantan koruptor harusnya tidak diperbolehkan mengikuti Pilkada. Karena apa, sekali dia sudah melakukan korupsi pasti sedikit banyak ia juga melakukan korupsi ketika ia menjadi kepala daerah.
Memang tidak ada larangan seseorang yang berstatus tersangka maju sebagai calon Kepala Daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus ikut mengawasi para calon kepala daerah yang bermasalah, terutama petahana atau pejabat daerah seperti pengawasan terhadap potensi penyalahgunaan fasilitas negara hingga politik uang.
KPK mustinya terus mengawasi setiap calon kepala daerah yang bertarung, terutama incumbent atau pejabat daerah yang maju karena berpotensi menggunakan fasilitas negara, money politics, dan lain-lain. Bentuk pengawasan lainnya, memastikan setiap calon menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tidak ada penundaan proses hukum di masa Pilkada Serentak 2020. Peserta pilkada yang terlibat kasus korupsi tetap bakal diusut, Polri memutuskan menunda pengusutan perkara peserta pilkada di masa pesta demokrasi lokal ini untuk mencegah pengusutan perkara dijadikan alat politik.
Namun pengusutan perkara yang dilakukan KPK harus sesuai prosedur, Tidak terpengaruh situasi politik. Calon kepala daerah tidak mungkin dapat ditersangkakan, ditahan dan seterusnya kecuali memenuhi syarat dan prosedur yang sangat ketat. Proses hukum yang dilaksanakan sesuai peraturan tidak akan terintervensi oleh tekanan, desakan kemauan politik dalam masa pilkada ini.
Meski begitu, KPK memiliki tanggung jawab kepada masyarakat untuk memberikan informasi mengenai track record calon kepala daerah. Jangan sampai proses politik yang biaya dan keterlibatan masyarakatnya tinggi, namun tidak mengungkapkan info dan data semua sisi dari para calon kepala daerah Dengan mengungkapkan track record calon, diharapkan masyarakat bisa mengetahui pemimpinnya yang baik agar Pilkada 2020 ini mampu menemukan pemimpin- pemimpin daerah yang berintegritas, bukan sekadar sukses pilkada secara formal.
Diselenggarakannya Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di tengah pandemi Covid-19 menuai banyak pro dan kontra dari berbagai kalangan. Walaupun pandemi di Tanah Air masih belum berakhir, pemerintah tetap menyelenggarakan Pilkada dengan melakukan penerapan Protokol Kesehatan yang ketat dengan bantuan pihak aparat kepolisian. Dari calon-calon kepala daerah yang terdaftar pada pemilihan (Pilkada) serentak 2020 diberitakan bahwa ada beberapa calon yang mempunyai rekam jejak pernah terseret kasus korupsi. Menurut saya pilkada seharusnya menyediakan pilihan yang baik kepada masyarakat untuk memajukan daerah.
Akan tetapi yang terjadi di sebagian daerah di Indonesia, termasuk di berbagai daerah di labuhanbatu justru sebaliknya. Orang-orang yang ratifikasi masih berhasrat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Beberapa dari mereka mendapat ruang untuk diusung partai politik sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Regulasi terkait persoalan ini, menurut dia masih perlu diperbaiki untuk mencegah hasil pilkada yang melukai rakyat.
Dalam upaya melahirkan pemimpin yang bersih harus dimulai dari proses pilkada yang baik, yang dapat membendung orang-orang yang terlibat kasus korupsi mencalonkan diri. Dalam penanganan Covid-19, contohnya, KPU dapat menunda pencalonan politisi yang terkonfirmasi Covid-19. Seharusnya, upaya lainnya dalam konteks melahirkan pemimpin yang diharapkan masyarakat, dipikirkan juga potensi kerawanannya seperti tidak memberi ruang kepada orang-orang yang terlibat kasus korupsi dan gratifikasi di KPK.
Dengan kehadiran pasangan calon kepala daerah yang bermasalah, menurut dia dapat menimbulkan permasalahan bila mereka memenangkan pilkada. Kemudian setelah dilantik, berhadapan dengan kasus hukum. Situasi tersebut tidak hanya memperburuk nama pemerintahan daerah, melainkan bertolak belakang dengan harapan rakyat, yang menginginkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lahir dari pesta demokrasi, tidak terlibat kasus korupsi maupun gratifikasi.
KPU maupun Bawaslu tidak memiliki wewenang untuk menolak calon kepala daerah yang bermasalah hukum sebelum diputuskan pengadilan. Namun sanksi dapat diberikan pemilih dalam pilkada yakni tidak memilih mereka yang tersandera dalam kasus korupsi atau pun gratifikasi di KPK. Orang-orang yang pernah menjadi napi korupsi dan juga terlibat dalam kasus korupsi berpotensi mengulangi kejahatan yang sama sehingga pemilih sebaiknya tidak memilihnya pada pilkada.
Seluruh calon kepala daerah yang disajikan dalam pilkada untuk dipilih oleh pemilih seharusnya tidak bermasalah. Sebab pilkada menguras anggaran daerah yang sangat besar, sehingga tidak layak kalau masyarakat diberi pilihan kurang baik. Namun terkait upaya dalam pencegahan korupsi dan kecurangan dalam pilkada ini, bawa slu harus melakukan kerjasama dengan pihak KPK dalam upaya mengawasi transaksi keuangan yang mencurigakan dimasa pilkada ini.
Setidaknya dari jumlah kabupaten kota tersebut, mayoritas akan didominasi petahana untuk maju pada pertarungan pemilihan kepala daerah 2020. Namun demikian, patut diawasi penyalahgunaan kekuasaan ataupun jabatannya karena kesempatan dalam akses kekuasaan akan sangat terbuka lebar. Seperti contoh program-program bantuan, sosial, hibah atau dalam bentuk yang lain. Dimungkinkan juga adanya transaksi-transaksi dalam penggunaan anggaran daerah untuk kepentingan petahanan. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menjaga stabilitas profesional dalam bekerja dan bersifat netral dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Petahana harus bisa membedakan suatu kegiatan itu sebagai bentuk tugas pemerintahan atau kampanye. Namun, praktik- praktik semacam itu sering kita lihat dalam setiap peristiwa pemilihan kepala daerah. Disinilah peran-peran pihak terkait harus jeli dan selalu memberi pengawasan, khususnya pengawas pemilu dan juga masyarakat. Para pihak sudah selayaknya memberi ruang yang cukup untuk mengawasi incumbent dalam pilkada ini.(*)
Penulis : Rosida Br Sihombing