
Di era digital, teknologi informasi semestinya menjadi sarana strategis pemerintah daerah untuk mempercepat dan mempermudah pelayanan publik. Namun, ketika anggaran besar digelontorkan, logikanya manfaat yang dirasakan masyarakat harus sebanding. Faktanya, hal ini justru jauh panggang dari api.
Contoh nyata adalah Aplikasi Hallo Bupati Karimun yang resmi diluncurkan pada 10 Juli 2025. Berdasarkan data terbaru, jumlah penggunanya masih stagnan di kisaran 500+. Padahal, penduduk Kabupaten Karimun per 2024 tercatat mencapai 272.390 jiwa. Apakah angka ini sepadan dengan anggaran yang dikucurkan?
Lebih ironis lagi, aplikasi ini dibuat dengan biaya sekitar Rp120 juta yang bersumber dari APBD Kabupaten Karimun 2025. Nilai sebesar ini jelas bukan angka kecil, apalagi di tengah kondisi keuangan daerah yang belum stabil, beasiswa pendidikan Mahasiswa Kabupaten Karimun yang sampai saat ini belum disalurkan, hutang tunda bayar yang menumpuk, dan bahkan Alokasi Dana Desa (ADD) tahap pertama tahun 2025 yang belum dibayarkan. Dengan realitas tersebut, pemborosan anggaran untuk aplikasi minim manfaat terasa semakin mencolok dan menyakitkan logika publik.
Yang tampak sekarang hanyalah sebuah aplikasi “gagah terpajang” namun hampir tak berguna di lapangan. Sosialisasi minim, strategi pemanfaatan lemah, dan respons pemerintah terhadap aspirasi masyarakat melalui aplikasi ini nyaris tak terdengar. Jika tujuan awalnya adalah membuka ruang komunikasi antara rakyat dan pemimpin, maka hasil saat ini justru memperlihatkan sebaliknya: rakyat masih memilih jalur lama karena aplikasi yang digadang-gadang itu gagal menjadi jembatan aspirasi.
Pertanyaan kritis yang patut diajukan: apakah ini murni proyek pelayanan publik, atau sekadar proyek digital seremonial yang hanya menguras anggaran? Karena membangun aplikasi tidak berhenti pada proses teknis, melainkan harus disertai strategi literasi digital, ekosistem pengelolaan, serta keberlanjutan pemanfaatan. Tanpa itu, aplikasi hanya akan jadi “monumen digital”—ada bentuknya, tapi mati fungsinya.
Sebagai mahasiswa, saya menegaskan bahwa setiap rupiah uang rakyat harus kembali dalam bentuk manfaat nyata, bukan sekadar proyek yang lebih banyak menguntungkan vendor daripada masyarakat. Pemerintah Kabupaten Karimun wajib membuka data transparan: siapa penggarap aplikasi, bagaimana evaluasinya, apa indikator keberhasilannya, dan sejauh mana tindak lanjut dari masukan masyarakat melalui aplikasi tersebut.
Jika tidak, Hallo Bupati Karimun hanyalah simbol kegagalan digitalisasi daerah—proyek ratusan juta yang sepi peminat, menyisakan tanda tanya besar tentang arah pengelolaan anggaran publik.
Penulis : Adiya Bapriyanto Mahasiswa Karimun di STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang, Kepri.
