KEPRITANJUNG PINANG
Opini: Mencari Pemimpin, Bukan Koruptor
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh saya Tamanda Rahma Yuanita, mahasiswa dari universitas maritim raja Ali. Saya berasal dari Tanjungpinang, kepulauan Riau. Disini saya akan menyampaikan opini saya yang bertema penyelenggaraan Pilkada yang bebas korupsi.
Tinggal menghitung hari, kita sebagai rakyat indonesia akan mengadakan pesta. Ya, pesta demokrasi. Mengadakan pemilihan umum secara serentak di berbagai wilayah provinsi, kabupaten, dan kota di republik yang tercinta ini.sebagai negara demokrasi tentunya pemilihan kepala daerah atau kepala negara merupakan sebuah wujud nyata, jika demokrasi di negara kita ini berjalan dengan baik.
Sempat menjadi kegusaran tersendiri, apakah Pilkada serentak ini tetap dilaksanakan atau akan ditunda, Terkait pandemi covid 19 yang tak kunjung usai. Namun kegusaran tersebut dapat terjawab seiring penetapan tentang tahapan, jadwal, dan program Pilkada yang disusun KPU berdasarkan protokol kesehatan. Tahapan dan jadwal tersebut, dimasukkan dalam peraturan KPU (PKPU) nomor 5 tahun 2020.tentang perubahan ketiga atas PKPU nomor 13 tahun 2019 tentang tahapan, program,dan jadwal penyelenggaraan
Pilkada tahun 2020. Serta undang-undang nomor 6 tahun 2020 tentang pemilihan gubernur, Bupati, dan walikota yang ditetapkan pada tanggal 14 Juli 2020. Untuk diketahui, Pilkada serentak 2020 digelar di 270 wilayah di Indonesia ,meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Berbicara soal Pilkada,sangat erat kaitannya dengan sosok calon kepala daerah yang maju mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin atau kepala daerah melalui jalur partai politik maupun jalur independen.dikenal dan dapat dipilih oleh masyarakat.melalui masa kampanye setiap calon kepala daerah menyampaikan visi misi kedepannya jika mereka dipilih dan dilantik.
Sementara itu , di sisi lain Pilkada serentak 2020 masih menyisakan permasalahan Serius dalam konteks pemberantasan korupsi. Karena masih ada pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang yang ter serat kasus hukum di komisi pemberantasan korupsi (KPK) . Hal ini berdasarkan data di situs resmi KPK, per 1 Juni 2020, yang mana terdapat 21 gubernur dan 122 Bupati, walikota dan wakil kepala daerah yang terjerat korupsi.
Hal senada juga dilontarkan oleh peneliti perludem Fadli Ramadhanil yang menyesalkan seseorang tersangka dicalonkan sebagai calon kepala daerah.dia menilai calon kepala daerah berstatus tersangka kasus korupsi tidak akan optimal dalam mengakomodir aspirasi rakyat . Esensi Pilkada itu mencari pemimpin yang bisa berdialog dengan pemilih , kalau calonnya sibuk mengurus masalah hukum nya sendiri, bagaimana mungkin dia bisa berdialog dengan pemilihnya. Ujar Fadli kepada wartawan . Senin 24 Agustus 2020.
Berdasarkan uraian tersebut , tentunya menjadi permasalahan dan pertanyaan tersendiri bagi kita sebagai pemilih. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi , sosok yang menjadi tersangka kasus korupsi bisa dicalonkan kembali dan menjadi tanda tanya untuk kita juga langkah apa yang kita tentukan jika dihadapkan ketika ada calon kepala daerah yang merupakan tersangka kasus korupsi.
Partai politik sangat berperan penting dalam memilih calon kepala daerah sebelum mengusung dan mendukung.ingin mencalonkan dirinya menjadi pemimpin.Tidak bisa dipungkiri bahwa suatu partai politik merupakan kendaraan yang digunakan oleh bakal calon kepala daerah yang ingin mencalonkan dirinya menjadi pemimpin. Partai politik juga mempunyai otoritas dan hak yang penuh untuk memberikan dukungannya, yang tentunya melalui proses rekruitmen atau memilih calon yang berintegritas .
Tidak adanya ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa jika calon kepala daerah ditetapkan menjadi tersangka suatu tindak pidana maka tidak bisa mencalonkan diri lagi menjadi kepala daerah .Calon kepala daerah hanya di isyaratkan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Hal ini terjadi karena lemahnya undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur , Bupati , dan walikota .
Berdasarkan undang-undang Nomor 10 tahun 2016. Jika pasangan calon kepala daerah yang berstatus tersangka tersebut terpilih ,dapat dinonaktifkan jika telah menjadi terpidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena, dikarenakan proses hukum tetap berjalan.
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa disamping lemahnya undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, Bupati, dan walikotaserta lemahnya proses rekruitmen atau memilih calon pemimpin yang berintegritas oleh partai politik . Tentunya salah satu faktor yang sangat penting . Yaitu , kita selaku masyarakat yang mempunyai hak memilih dan memberikan suara kepada calon kepala daerah , sudah seharusnya kita mencari tahu latar belakang calon tersebut serta memilih sosok yang berintegritas . Agar hak memilih dapat kita pergunakan dengan baik dan tidak salah dalam memilih , demi kemajuan daerah kita masing-masing tentunya.(*)
Penulis : Tamanda Rahma Yuanita