KEPRITANJUNG PINANG
Opini : pilkada 2020 perlunya Transparansi Dana Kampanye Agar Terciptanya Pilkada Yang Bebas korupsi
Pemilihan kepala daerah(pilkada)2020 akan di gelar secara serentak pada masa pandemi COVID- 19,untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021.Ini merupakan keempatkali nya pada tahun 2020,Sistem pilkada di selenggarakan di Indonesia.Pada awalnya pemungutan suara untuk pilkada di rencanakan pada 23 September 2020.Akan tetapi pada bulan Mei 2020 kemarin karena pandemi COVID-19 yang masih berlangsung di seluruh penjuru Indonesia,Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan terkait penundaan pilkada hingga Desember 2020 mendatang.Total daerah yang akan menyelengaarakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah,dengan rincian 9 Provinsi,224 Kabupaten,37 kota.
Proses politik dalam pelaksanaan pilkada tidak akan steril dari praktik-praktik kotor seperti korupsi.Meskipun saat ini sudah ada dua UU yang mengatur pengelolahan dana kampanye seperti di atur dalam UU No.10 tahun 2016 pasal74 yang mengatur siapa saja yang berhak menyumbang dan untuk kampanye,batas sumbangan yang di berikan dan penyimpanan dana kampanye yang akan di simpan di bank.Lalu ada juga peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) Nomor 5 tahun 2017 sebagai petunjuk pelaksanaan tentang dana kampanye 2020 yang mengharuskan sumbangan dana tersebut di lengkapi dengan identitas lengkap penyumbang.Selain itu para pasangan calon yang menerima sumbangan dana kampanye juga harus melaporkan dan mempublikasikan berapa besaran sumbangan yang di terimanya.
Meskipun begitu,Tidak jarang juga ada pasangan calon yang melaporkan penerimaan sumbangan sesuai dengan batasan sumbangan yang di perbolehkan padahal jumlah sebenarnya bisa lebih dari yang di laporkan.Seperti adanya sumbangan politik illegal dari pihak lain kepada pasangan calon kepala daerah.Hubungan antara penyumbang dana dan pasangan calon kepala daerah tentunya di lakukan secara rahasia.dan disertai dengan imbalan tertentu yang telah di sepakati.hal ini akan menimbulkan benih-benih korupsi.Karena jika pasangan calon yang di beri sumbangan illegal itu terpilih menjadi kepala daerah,tentu ia akan berupaya mengembalikan dana yang sudah terpakai saat kampanye dan akhirnya kepala daerah yang terpilih itu bukan nya mendahulukan kualitas sebagaimana janji-janji yang di lontarkan saat kampanye ,Melainkan secara tersembunyi menghitung besaran dana yang sudah di keluarkan serta menyusun rencana untuk mengembalikannya.Jika sudah begini,jalan pintas yang akan di ambil kemungkinan besar adalah korupsi.
Oleh karena itu,transparansi sangat di perlukan dalam dana kampanye pilkada dan harus berdasarkan Undang-undang nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik juncto peraturan komisi informasi(PERKI) Nomor 1 Tahun 2010 tentang standar layanan informasi publik juncto perki Nomor 1 tahun 2014 tentang standar layanan dan prosedur penyelesaian sengketa informasi pemilu.Hal ini sebagai bentuk akuntabilitas peserta pemilu kepada publik terhadap dana sumbangan yang diterimanya.peraturan dan transparansi dana kampanye juga bisa di gunakan sebagai alat pengawas terhadap potensi kolusi kepentingan antara penyumbang dan peserta pemilu atau alat pengawasan terhadap dana yang bersumber dari pencucian uang dan korupsi sebagaimana penjelasan di atas.
Lantas bagaimana jika seorang kepala daerah yang pernah terjerat kasus Korupsi bisa mencalonkan diri kembali untuk menjadi kepala daerah,anggota legislatif,bahkan presiden pada priode berikutnya? Hal ini bisa saja terjadi apabila kepala daerah yang bersangkutan hanya sebagai terdakwa atau tersangka dan kasusnya sedang di selidiki karena di isukan melakukan korupsi,akan tetapi karena lamanya proses penyelidikan kepala daerah tersebut mencalonkan diri kembali pada priode berikutnya.maka orang tersebut di perbolehkan mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah .Tetapi bagaimana dengan kepala daerah yang memang telah terbukti terpidana korupsi,berdasarkan putusan pengadilan dan di berhentikan,apakah boleh menjabat kembali sebagai kepala daerah atau wakil rakyat?jika sudah seperti ini jawabannya adalah tidak boleh,Sebagaimana di atur dalam pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 .tetapi terdapat pula sebuah kebijakan yaitu,seorang kepala daerah yang pernah terjerat kasus korupsi dan terbukti bersalah di perbolehkan menjabat kembali asalkan ia jujur dan bertanggung jawab atas perbuatannya di depan publik.
Pada awalnya KPU pernah mengeluarkan peraturan bahwa melarang keras mantan narapidana/eks narapidana korupsi maju di pilkada.Alasan KPU mengeluarkan peraturan ini adalah agar masyarakat mendapat kepala daerah yang terbaik.Akan tetapi peraturan ini di batalkan oleh Mahkamah Agung(MA).Entah apa maksud Mahkamah agung menolak peraturan KPU tersebut.Oleh karena itu,KPU hanya bisa mengimbau partai poltik untuk benar-benar menyaring calon kepala daerah atau wakil rakyat untuk tidak maju pada pilkada periode berikutnya.Tetapi pada tahun 2020 ini KPU masih berusaha untuk mengajukan permohonan agar larangan terhadap mantan narapidana dapat di masukan ke dalam UU.dan akhirnya MK menerima sebagian permohonan dari KPU.mantan Narapidana tidak pernah di ancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih dan boleh mencalonkan diri apabila telah lewat 5 tahun setelah selesai menjalani masa tahanannya,serta orang tersebut bukan merupakan pelaku kejahatan yang berulang.
Di lihat dari peraturan di atas berarti masih tetap adanya peluang untuk narapidana korupsi maju kembali pada pilkada 2020 ini.Inilah yang membuat Negara Indonesia ini sulit untuk menjadi Negara maju.seharusnya yang sudah menjadi mantan narapidana korupsi di larang keras untuk maju kembali pada pilkada tahun ini.karena bisa jadi ia yang terpilih kembali akan melakukan korupsi seperti sebelumnya,padahal masih banyak generasi yang lebih cakap dalam memerintah ataupun memiliki kejujuran dan kesadaran serta bertanggungjawab atas tugasnya yang bisa mencalonkan diri di pilkada ini.
Kita sebagai masyarakat yang menyadari betapa pentingnya pemimpin yang jujur dan bijaksana dapat menolak peraturan tersebut dengan cara tidak memilih calon kepala daerah yang pernah terjerat kasus korupsi untuk meminimalkan terulang kembali tindak korupsi yang merugikan Negara. tetapi meskipun begitu lain dengan pemikiran para pejabat pemerintahan yang mengatakan mantan narapidana dapat mencalonkan diri kembali demi kebabasan dan HAM sebagai manusia.dan untuk mantan narapidana baik korupsi maupun kasus lain yang nanti terpilih kembali di pilkada 2020,kami sebagai masyarakat awam hanya dapat berharap agar kepala daerah yang memimpin tahun ini bisa lebih meningkatkan kualitas baik dari segi ekonomi daerah,pembangunan daerah dan mampu mengatasi berbagai permasalahan pada masa pandemic COVID-19 ini serta bidang lainnya di prioritaskan bukan hanya sekedar menebar janji manis saat kampanye setelah jadi masyarakat di lupakan dan malah mengais sedikit demi sedikit dana yang seharusnya untuk kebutuhan daerah dan masyarakat ke kantong pribadi para pemimpin daerah.karena pemimpin yang berkualitas dapat memajukan bangsa Indonesia serta menjadi panutan generasi berikutnya.(*)
Penulis : Silvia Ariani