KEPRITANJUNG PINANG
Opini : Penyelenggaraan Pilkada Bebas Korupsi
Pilkada ialah pemilihan kepala daerah yang diadakan setiap 5 tahun sekali yang dimana penyelenggaraannya telah diatur dalam Undang-Undang. Penyelenggaraan pilkada telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 pasal 1 Ayat 4 yang berbunyi ‘’Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.’’
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 4 tadi bisa ditarik kesimpulan bahwa pilkada merupakan pemilihan yang dilakukan secara langsung dengan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pilkada dilakukan secara langsung maksudnya ialah calon kepada daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Nah disini kita sebagai rakyat juga harus cerdas dalam menggunakan hak pilih kita untuk memilih calon pemimpin. Cerdas yang saya maksudkan disini ialah memilih pemimpin yang jujur, amanah, dan dapat dipercaya. Seorang calon Pemimpin harus dapat meraih rasa kepercayaan masyarakat agar memilihnya. Calon pemimpin harus memiliki kriteria positif yang menonjol.
Menurut saya, salah satu kriteria calon pemimpin adalah bebas dari catatan kasus atau catatan kriminal. Saya menekankan pada catatan kasus suap atau yang lebih dikenal dengan istilah korupsi. Korupsi adalah salah satu kasus yang menonjol dalam arena pemerintahan, korupsi merupakan tindakan yang membuat kerugian terhadap seseorang hingga suatu daerah bahkan suatu negara.
Nah jika calon pemimpin memiliki catatan kasus suap atau korupsi, akan amat sangat saya menolak calon tersebut untuk melanjutkan langkahnya ke Pilkada. Lihat saja pemimpin daerah yang terkena kasus korupsi yang sebelumnya dia tidak memiliki catatan kasus korupsi.
Hal tersebut telah merugikan daerah tersebut, hal itu juga berlaku demikian. Jika pemimpin yang tidak memiliki catatan kasus korupsi akhirnya terlibat kasus korupsi, apalagi seorang calon pemimpin yang telah memiliki catatan kasus korupsi?.
Masyarakat seharusnya tidak dengan mudah menaruh rasa kepercayaannya begitu saja terhadap calon pemimpin yang pernah terlibat kasus korupsi. Hanya dengan embel embel sudah “menyesali” perbuatan tersebut dan telah “taubat” , tidak akan cukup untuk ia kembali menjadi calon pemimpin. Menurut saya yang mendukungnya hanya lah tim suksesnya saja.
Calon pemimpin yang pernah terlibat kasus korupsi jika kembali menjadi pemimpin pemerintahan suatu daerah hanya sama hal nya dengan menabur hama diperkebunan kita. Jelas sangat merugikan pihak masyarakat sendiri. Sebagai pemilih kita harus bersikap realistis, jika pemimpin yang tidak ada catatan kasus korupsi berujung terlibat kasus tersebut, apalagi yang telah terlibat kasus tersebut dari awal. Tidak ada yang menjamin dia tidak mengulangi perbuatan buruk tersebut jika ia terpilih lagi untuk memimpin pemerintahan suatu daerah.
Selain tentang pemimpin yang terjerat kasus korupsi, isu-isu yang akan bermunculan jika kita membahas tentang pilkada ialah transparansi dana pilkada. Setiap calon pemimpin pasti melakukan yang namanya kampanye. Tentu untuk melakukan kampanye dibutuhkan dana yang tak sedikit. Disini letak pertanyaannya, dari mana calon pemimpin tersebut mendapatkan dana untuk melakukan kampanye?. Karena jika kita lihat rata-rata calon pemimpin tersebut jika sedang melakukan kampanye akan merogoh kocek yang tak sedikit.
Selain aliran dana yang berasal dari mana, berapa jumlah dana yang dikeluarkan calon kepala daerah untuk melakukan kampanye juga menjadi sebuah pertannyaan. Tentu disini sebagai masyarakat kita ingin mengetahui seberapa besar dana yang telah dikeluarkan calon kepala daerah tersebut. Maka disini anggaran pilkada yang dikeluarkan harus di publish kepada masyarakat agar tidak memunculkan spekulasi-spekulasi yang merugikan banyak pihak.
Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-Undang yang lahir setelah amandemen berpayung pada Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menegaskan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Jika kita melihat Undang-Undang tersebut, maka kita sebagai masyarakat memiliki hak untuk mengetahui jumlah anggaran yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah dalam melakukan kampanye. Transparansi dana pilkada bukan semata mata sekedar rasa ingin tahu masyarakat belaka. Tetapi, transparansi dana pilkada ini bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Masyarakat bisa menilai dari sejumlah dana yang dikeluarkan calon kepala daerah apakah sepadan dengan manfaat yang didapatkan.
Jika dana yang dikeluarkan besar ketika berkampanye tetapi manfaat yang dirasakan kecil itu berarti calon pemimpin tersebut tidak pandai dalam mengatur pendanaan atau bisa disebut juga ‘‘besar pasak daripada tiang.’’ Tentu jika hal ini yang dilakukan maka akan besar kemungkinan nantinya jikacalon pemimpin tersebut terpilih ia akan melakukan yang namanya korupsi untuk mengembalikan dana yang telah terkuras selama melakukan kampanye. Oleh karena itu, transparansi dana pilkada sangat penting untuk dilakukan.
Pilkada tidak akan mencapai kesuksesan apabila semua lapisan tidak ikut berpartisipasi. Pada hakikatnya penyelenggaraan pilkada bisa dikatakan sukses apabila semua pihak bekerja sama dengan baik. Seperti lembaga penyelenggaraan pilkada melaksanakan tugasnya dengan baik, calon kepala daerah telah memenuhi standar untuk maju menjadi kepala daerah dan kita sebagai rakyat menggunakan hak suara kita dengan bijak.
Dan terakhir harapan saya terhadap pilkada serentak tahun 2020 ini semoga dapat berjalan dengan lancar, damai dan aman meskipun pada saat ini kita sedang dilanda pandemi.(*)
Penulis : Sari Maryunda