KEPRITANJUNG PINANG
Opini: Partisipasi Masyarakat dalam Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Antara Realitas dan Sebuah Harapan)
Dalam UUD 1945 khususnya Pasal 28 B ayat (2) disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pemenuhan hak anak sendiri terdiri dari 5 kluster tersebut telah termaktub sebagaimana Peraturan Menteri Pemberdayaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang penyelenggaraan Kabupaten / Kota Layak Anak.
Kluster hak anak yaitu pertama; kluster hak sipil dan kebebasan, kedua; hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, ketiga; hak kesehatan dasar dan kesejahteraan, keempat; hak pendidikan, pemanfaaatan waktu luang dan kegiatan budaya serta terakhir kelima; hak perlindungan khusus
Partisipasi masyarakat dalam memberdayakan perempuan dan perlindungan anak juga tercantum dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2021 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Dalam mewujudkan suatu daerah baik kabupaten/ kota yang layak anak, selain melibatkan organisasi perangkat daerah yang bersifat sinergitas juga melibatkan peran serta unsur non-state baik dunia usaha, media massa, lembaga pendidikan dan masyarakat. Peran serta pemerintah dan unsur non state diwujudkan dalam bentuk kolaborasi.
Kondisi inilah yang dimaksudkan oleh John F. Forrer sebagai kolaborasi lintas sektor.
Peran serta masyarakat dalam mewujudkan perlindungan anak ,salah satunya dapat terlihat dari keberadaan organisasi antara lain Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) , Relawan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) selain sebelumnya telah ada Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang ketiganya berfokus pada Perempuan dan anak.
Selain itu terdapat keberadaan organisasi lainnya yang juga menempatkan perempuan dan anak sebagai isu dan target group organisasi.
Menurut saya yang perlu diingat bersama bahwa sebagai organisasi yang independen dan bersifat nonprofit sekaligus harapan sebagai mitra pemerintah daerah, kontribusi aktivis yang bergabung dalam organisasi organisasi ini sangat menentukan.
Selain ketrampilan dan keahlian, dituntut komitmen, integritas, tanggung jawab, pemahaman bersama dari masing- masing personal bahwa mereka adalah sebuah tim yang hebat jika bersatu. Selain itu juga diperlukan jejaring yang dapat mendukung kebermanfatan dari keberadaaan organisasi ini, keberlanjutan rencana aksi dalam membantu pemerintah daerah untuk mewujudkan kota layak anak di kota Tanjungpinang. Pada akhirnya ini saya menyadari bahwa pernyataan Hillary Binder Aviles tentang hal ini, benar adanya.
Kekuatan organisasi nirlaba/nonprofit/nonstate tidak terlepas dari kekuatan sumber daya manusia yang ada didalamnya.
Oleh karena itu kunci inilah yang perlu dipahami dan dijalankan oleh semua anggota agar kehadiran sumber daya manusia dalam organisasi ini bukan sekedar formalitas namun benar benar kehadirannya dapat dirasakan manfaatnya bagi organisasi itu sendiri dan juga kepada masyarakat.
Optimalisasi peran masyarakat juga dapat tercapai baik melalui dukungan pemerintah daerah yang penuh dalam membina, menfasilitasi maupun melalui strategi pengembangan kolaborasi antar sesama organisasi ini dengan organisasi lainya dalam mensejalankan rencana aksi bersama.
Dengan demikian keberadaan organisasi ini akan dapat lebih berperan sebagaimana mitra pemerintah dalam mendukung kebijakan pemerintah dalam memberdayakan perempuan dan melindungi anak.(*)
Oleh: Diah Siti Utari
Dosen dan Aktivis Perempuan