KEPRITANJUNG PINANG

Opini: Calon Pilkada Tersandera Kasus Korupsi

Saya theresya ratna sari panjaitan mahasiswi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung pinang Kepulauan Riau akan memberikan opini tentang Penyelenggaraan pilkada yang bebas korupsi.

Pilkada merupakan momentum penting dalam mengkonsolidasikan demokrasi di tingkat lokal. Penetuan maju atau tidaknya masa depan daerah termasuk masyarakatnya dalam lima tahun ke depan akan ditentukan dalam pertaruhan politik elektoral yang akan berlangsung beberapa bulan mendatang.

Oleh karena itu sebagai upaya mendukung pencegahan korupsi dan mendorong Pilkada bersih, paling tidak ada dua hal yang bisa publik lakukan. Pertama, publik harus berpatisipasi aktif dalam mengawasi Pilkada dan menolak segala bentuk politik uang. Keberadaan Bawaslu bahkan kini Satgas Politik Uang bukan berarti mampu menghilangkan begitu saja praktik politik uang. Akan tetapi peran masyarakat sebagai pemilih lah dan penerima manfaat langsung yang ikut memastikan lembaga tersebut bekerja. Masyarakat juga harus berani melaporkan jika menemukan adanya praktik-praktik jual beli suara yang terjadi. Sehingga partisipasi public menjadi keharusan, baik dalam mengawasi dan memastikan Pilkada berlangsung dengan bersih, jujur dan berintegritas. Kedua, memilih calon kepada daerah berdasarkan aspek kompetensi, integritas, program kerja dan rekam jejak. Masyarakat harus cerdas dalam memilih, memastikan siapa calon yang akan mereka pilih. Seperti calon bukan tersangka atau mantan terpidana korupsi , memiliki kompetensi dan komitmen yang kuat dalam membangun daerah, serta berintegritas. Hal tersebut penting dan harus menjadi perhatian khusus masyarakat ketimbang dengan pemberian atau janji untuk memilih calon tertentu.

Dengan adanya calon kandidat Pilkada yang memiliki riwayat kasus korupsi atau pun dalam proses penyelidikan kasus korupsi oleh KPK merupakan salah satu bentuk ketidakadilan dalam masyarakat. Yang dimana seharusnya pejabat daerah berupaya untuk memajukan kehidupan masyarakat dengan memberantas korupsi.

Pilkada 2020 yang terjadi masih menyisakan permasalahan serius dalam konteks pmeberantasan korupsi lantaran masih ada pasangan calon kepalda daerah dan wakil kepala daerah yangg tersandera kasus hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini merupakan pernyataan dari Sekretaris Jenderal KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) Kaka Suminta. Yang dimana seharusnya pilkada merupakan bagian dari koreksi penyelenggara pemerintahan, termasuk upaya pemberantasan korupsi.

Penyebab lainnya yakni format hukum yang mewajibkan lembaga penyelenggara pemilu wajib menghormati proses hukum terhadap politisi yang tersandera kasus di KPK sebelum dijatuhi vonis bersalah oleh pengadilan. Artinya, regulasi tidak melarang orang-orang yang terlibat kasus dugaan korupsi dan gratifikasi mencalonkan diri, meskipun penyelenggara pemilu atau pilkada memiliki semangat yang sama dengan rakyat untuk melahirkan pemimpin yang bersih, dan dapat membangun daerah yang dipimpin. Selain itu, kehadiran politisi yang tersandera kasus hukum di KPK sebagai peserta pilkada sebagai gambaran kegagalan partai politik dalam menyaring secara jernih bakal calon kepala daerah sebelum didaftarkan ke KPU.

Partai politik masih memainkan peran sebagai partai pengusung atau pendukung hanya dengan mempertimbangkan kemenangan dan kekalahan. Yang mungkin bisa dikenal dengan tirani illegal yang dimana kondisi ini tidak benar, tetapi secara legal harus diikuti. Artinya kita yang

tersandera dalam format hukum, dan pilihan partai politik yang tidak melalui proses yang jernih. Dengan kondisi seperti ini merupakan ketidakadilan yang dihadapi oleh masyarakat, ketika ada peserta calon pilkada tersandera kasus korupsi. Seharusnya, kondisi itu tidak terjadi jika penyaringan partai poltik berlangsung secara jernih sebelum mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil daerah. Partai politik seharusnya memiliki platform atau program dalam pemberantasan korupsi dari hulu hingga hilir sehingga tidak melukai rasa keadilan dalam pilkada. Dapat dibayangkan pilkada yang seharusnya memberi angina segar kepada masyarakat didaerah, malah potensial menimbulkan permasalahan di kemudian hari seandainya yang terpilih adalah calon kepala daerah yang tersandera kasus korupsi. Pemberantasan korupsi harus menjadi agenda utama dalam penyelenggaraan pilkada karena itu hak rakyat sehingga sebaiknya format regulasi diperbaiki dan partai politik direformasi.

Apabila para calon Pilkada dan para anggota partai politik yang bergerak mencalonkan calon nya sudah tidak memiliki rasa keadilan dalam bermasyarakat dan menyeleweng dari prinsip syarat sebagai pejabat wakil dari rakyat akan sangat mudah terpengaruh kearah korupsi. Sehingga disini dapat terjadi bahwa demokrasi tersandera dengan pengertian demokrasi itu sendiri bagi para calon pilkada. Beberapa hasil pemantaun bahwa dimana sekarang korupsi bukan hanya korupsi uang namun korupsi kebijakan politik. Yang dimana dengan hasil pemantauan para pakar hukum dan tata negara tengah membeberkan realitas pemilihan daerah yang hampir seluruhnya dibiayai oleh pemilik modal, dengan hal tersebut akan melahirkan korupsi kebijakan. Jika korupsi uang dapat dihitung tapi tidak dengan korupsi kebijakan. Karena korupsi kebijakan biasanya berupa lisensi penguasaan hutan, lisensi tambang dan lisensi lainnya yang lebih merugikan masyarakat. Menurut Mahfud (Menko Polhukam), lebih berbahaya jatuh dari pesawat terbang dari pada tenggelam ke dalam samudera. Yang dimana korupsi uang dan korupsi kebijakan adalah setali tiga uang, yang akibat nya bermuara pada kerugian negara dan kemudaratan masyarakat.

Kenyataan bahwa dalam penyelenggaraan Pilkada denga nada nya dana sponsor bagi para calon pilkada menunjukkan bahwa politik uang dalam pilkada seolah menyatu dengan mekanisme politik uang yang menjadi kan demokrasi tersandera. Politik uang meniscayakan terciptanya polirik transaksional. Mahar politik melahirkan jual beli jabatan, dengan adanya sponsor pada calon akan melahirkan jual beli kebijakan. Semua prinsip ini akan terus berlanjut dan dilestarikan selama platform negara tidak berpindah haluan. Dan di perbaiki secara Bersama dengan jujur dan bersih. Dengan mengetahui persentase mafia pilkada yang terjadi di negara kita tetapi tidak ada tindakan kedepannya maka hasilnya akan nihil. Pemerintah diharapkan melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan sekaligus penerapan regulasi pilkada. Disini dapat dilihat bahwa penyebab dari calon pilkada yang melakukan korupsi ada lahir dari para pemodal politik yang selalu ikut ambil ahli dalam pelaksanaan pilkada. Secara realita rezim dan tata cara pemilihan berganti, namun di Indonesia masih kesulitan menemukan kesejahteraan nya karena hampir seluruh asset negara dikuasai para pemodal politik.

Demokrasi adalah sebuah sistem negara yang menjadikan kedaulatan dan kekuasaan ditangan rakyat. Rakyatlah yang kemudian membuat undang-undang. Menetapkan halal-haram dan terpuji-tercela. Lalu dalam prosesnya, rakyat mewakilkan semua itu pada penguasa yang terpilih.

Realitasnya, penguasa yang terpilih bukanlah representasi dari rakyat mayoritas. Mahalnya biaya pemilu dan pilkada juga adanya oligarki kekuasaan, meniscayakan pelibatan para pemodal politik di dalamnya. Kekeliruan demokrasi bukanlah dari sisi implementasinya saja. Lebih dari itu, kesalahan demokrasi ada pada asasnya, yaitu pembuat hukum adalah rakyat itu artinya kedaulatan ada di tangan rakyat.

Disinilah dibutuhkan peraturan yang ketat untuk syarat sebagai calon pilkada, dengan aturan di depan membuat para koruptor tidak dapat memasuki ruang nya. Dengan peraturan yang dibuat harus di nyatakan dengan tegas agar tidak ada kesempatan bagi para calon Pilkada yang tersandera korupsi. Setidaknya membatasi yang sudah terkontaminasi korupsi dan selanjutnya menyisihkan para koruptor lainnya yang masih berkeliaran sebagai pejabat daerah. (*)

Penulis  : Theresya Ratna Sari Panjaitan

Loading...
 

Tags

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close
Close